Dr. Li. Edi Ramawijaya Putra, S.Pd., M.Pd
Dosen || Penulis || TOEFL Facilitator || Teachers' Trainer || Eduvator || Pembicara
Jakarta, gemabudhi.or.id – Rencana pemasangan kembali chattra di stupa induk Candi Borobudur kembali memantik perbedaan sudut pandang. Pro dan kontra ini tidak hanya dalam kalangan peneliti arkeolog tapi juga dalam intern umat Buddha Indonesia.
Sebagai besar pendapat umat Buddha yang kontra berdasar dari argument arkeolog bahwa chattra tidak sesuai dengan struktur asli Candi Borobdur sehingga untuk menjaga keaslian dan nilai konservatif, pemasangan chattra bukan lagi pilihan yang tepat.
Baca juga : GEMABUDHI APRESIASI WAMEN ATR/BPN TURUN TANGANI VIHARA AMURVA BHUMI
Di sisi lain, pemerintah melalui koordinasi lintas kementerian/lembaga telah menetapkan Borobudur sebagai dalam satu DPSP (Destinasi Pariwisata Sumber Prioritas) dengan pemasangan kembali chattra sebagai sumber daya tarik wisata religi dunia.
Argumentasi konservatif memiliki pijakan arkeologi yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuwan. Bukti-bukti otentik berupa rekonstruksi fisik van Erp terhadap Candi Borobudur menyimpulkan bahwa chattra masih diragukan terhadap orisinalitas.
Arkeolog menegaskan bahwa usulan pemasangan chattra tidak sesuai dengan etika pemugaran warisan budaya berbentuk. Di sisi lain, Ditjen Bimas Buddha Kemenag RI meminta umat Buddha untuk menyikapi wacana ini dengan perspektif spiritualisme dan filosofi Agama Buddha.
Baca juga : DALAM RANGKA WAISAK 2567/2023 GEMABUDHI BANTEN ADAKAN BAKSOS BERBAGI SEMBAKO
Faktanya dalam relief Candi Borobudur juga ditemukan banyak reprentasi dari chattra sebagai sebuah pengejawantahan dari penghormatan terhadap makhluk agung. Borobudur merupakan mandala teragung dan terbesar dunia sehingga chattra yang merupakan paying mulia adalah elemen yang tidak terpisahkan dalam aspek spiritualisme Borobudur.
Pendekatan multidisplin penting untuk dilakukan untuk menyikapi perbedaan ini tanpa menampikkan satu sudut pandang dengan sudut pandang lainnya. Substansi dari arah kebijakan pemerintah adalah membuka seluas-luasnya kesempatan bagi wisata religi untuk lebih mengenal peradaban dan kebudayaan Indonesia melalui Borobudur.
Perspektif arkeologis sangat penting untuk menjaga kemurnian peninggalan budaya dan tetap akan menjadi kajian dan ilmu yang relevan dalam diskusi-diskusi ilmiah. Anak cucu kita perlu diwarisi peninggalan yang orisinil, oleh karena itu disiplin arkeologi sangat penting dalam konteks ini. Disisi lain, Borobudur jangan sampai menjadi monumen mati (dead monument) yang tidak memberikan manfaat terhadap kemajuan jaman bagi khalayak, terutama komunitas Buddhis.
Baca juga : SAMBUT WAISAK 2567/2023 GEMABUDHI SILATURAHMI KE TOKOH LINTAS AGAMA DI MAGELANG
Pemasangan chattra sebagai sebuah symbol penghormatan yang layak terhadap candi memberikan nilai spiritual yang besar dan mendorong pengembangan batin yang semakin maju.
Marilah menatap ke depan tanpa menampikkan masa lalu. Wacana ini harus dilihat sebagai hasil pemikiran “jalan tengah” dari bandul konservatisme dan spiritualisme. Terlebih penting lagi, Pemasangan kembali chattra di stupa induk Borobudur tidak dilihat sebagai sebuah kemenangan opini bagi kelompok yang pro atau kekalahan bagi yang kontra tapi sebuah hasil konsensus bersama dari serangkaian proses dialektika, interpretasi arkeologis dan perbedaan pendapat.
Baca juga : GIAT BAKSOS GEMABUDHI BANTEN BERKOLABORASI DENGAN YAYASAN TOA SE BIO JAKARTA